Pages

Kamis, 19 September 2013

Anty Perempuan dari Titik Nol





Anty lahir dari keluarga kaya, tetapi besar di panti asuhan. Ia belajar kehidupan dari titik nol. Ketika kesuksesan kini dalam genggaman, ia menyadari bahwa uang bukanlah segalanya.

Tanggal 22 Juli 1988 adalah hari yang selalu mengakar dalam ingatan Marianty Indira (35), akrab dipanggil Anty. Di hari itu, sang ibu yang sudah bertahun-tahun menderita kanker meninggal, di saat Anty berusia 10 tahun. Tiga tahun sebelumnya, sang ayah lebih dahulu pergi. ”Hari itu saya bolos sekolah. Ibu minta ditemani dan diguntingin kuku. Setelah itu Ibu tidur di pangkuan saya. Tidak bangun lagi,” kenang Anty.

Hidupnya berubah total sejak hari itu. ”Saya hanya bisa menangis. Tamu banyak sekali yang datang. Beberapa hari kemudian saya dibawa keluar rumah oleh saudara yang tadinya saya pikir akan mengadopsi dan merawat saya. Saya tidak membawa apa-apa, hanya dengan baju di badan. Saya ternyata dibawa ke panti asuhan di daerah Pamulang, Pondok Cabe. Saya ditinggal di sana, tanpa bekal apa pun,” kenang Anty.

Anty yang biasa hidup berlimpah, dilayani banyak pembantu, sangat dimanja dan dituruti semua keinginannya, kemudian menjadi anak yatim piatu di panti asuhan yang harus mengurus semuanya sendirian. ”Rumah saya dulu besar di daerah Pakubuwono, Kebayoran Baru, dan Pejompongan, sementara di panti asuhan saya tidur beralas tanah. Di rumah, baju saya sangat banyak, tapi di panti saya hanya punya baju yang saya kenakan. Makan juga tidak gampang. Sementara dulu saya kalau makan sering tidak habis,” ujarnya mengenang masa-masa sulit di panti asuhan.

Awalnya, malam demi malam di panti asuhan diisi tangis. Apalagi ia juga tidak tahu ke mana harus menghubungi beberapa kakaknya yang sudah lebih dulu diadopsi. Sampai akhirnya, di usia yang masih belia itu ia membuat keputusan penting: ia harus melupakan masa lalunya, harus meneruskan sekolah dan menjadi yang terbaik. Karena hanya itu cara untuk bertahan hidup.

Anty yang dikaruniai otak encer lulus sekolah dasar dengan mudah, diterima di SMP dengan beasiswa, begitu juga ketika masuk SMA. Ia selalu menjadi yang terbaik, selalu juara satu. ”Yang mendorong saya untuk menjadi juara adalah cemoohan orang. Saya ingin menunjukkan kepada semua orang, ’biarpun gue yatim tapi gue bisa’,” lanjutnya. Bukan hanya itu, dengan menjadi juara satu, guru-gurunya mengizinkannya mengambil rapor sendiri tanpa perlu dihadiri ”orangtua”.

”Saat pembagian rapor selalu menjadi saat-saat yang membuat saya ingin menangis. Alangkah bahagianya jika saya punya orangtua dan menerima rapor saya dengan bangga,” kata Anty.

Keluarga di Jepang

Ketika duduk di kelas I SMA, Anty yang sewaktu kecil pernah dijanjikan ibunya akan disekolahkan ke luar negeri itu mencoba mengikuti kompetisi beasiswa TMG (Tokyo Metropolitan Government) yang proses seleksinya sangat ketat. Berkat kemampuan bahasa Inggrisnya yang baik—karena semasa hidupnya sang ibu sering mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris—Anty terpilih di antara ribuan peserta tes dan bisa masuk sekolah swasta terbaik di Jepang, Aoyama Gakuin, pada tahun 1994.

”Sewaktu pesawat mendarat di Bandara Narita (Jepang), saya langsung sujud syukur dan menangis. Saya bilang, Mama anakmu berhasil ke luar negeri.”

Di negeri ini pula Anty bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga. Ia tinggal bersama orangtua angkat, Kanji Iwabuchi (62) dan Mariko Iwabuchi (58), yang memiliki tiga anak, Tomoko Ikeda (35), Kantaro Iwabuchi (31), dan Sintoro Iwabuchi (37).
”Tuhan sangat baik mempertemukan saya dengan keluarga ini. Saya menganggap merekalah orangtua saya. Mereka sangat sayang kepada saya,” kata Anty.

Dengan limpahan kasih sayang dari keluarga Iwabuchi, talenta Anty makin berkembang. Ia bisa menguasai bahasa Jepang, baik lisan maupun tulisan, hanya dalam waktu yang tergolong singkat. ”Sewaktu berangkat ke Jepang, saya tidak punya bekal bahasa Jepang. Tapi di sana saya memaksakan diri untuk bicara hanya dalam bahasa Jepang. Saya rajin mendengarkan berita di radio dan belajar dari buku tata bahasa dasar milik Sintoro.”

Ketekunannya ini bukan saja membawanya menjadi pelajar berprestasi di Jepang, melainkan juga membuatnya berhasil menembus Aoyama Gaukin University Jurusan Fisika. ”Saya sempat kuliah satu tahun. Ayah saya (Iwabuchi) ingin agar saya menyelesaikan kuliah di Jepang. Tapi Depdikbud meminta saya pulang ke Indonesia karena izin beasiswa saya hanya dua tahun,” lanjutnya.

Kembali di Indonesia, Anty diterima di Sekolah Tinggi Telkom Jurusan Teknik Industri, yang sengaja dipilihnya agar bisa cepat bekerja. Ia lulus dengan memborong tiga gelar sekaligus, yaitu termuda, tercepat, dan terbaik. ”Saya ingat nama saya dipanggil tiga kali untuk menerima penghargaan.”

Pintu karier pun terbuka luas. Ia membangun karier dari bawah dan kini sampai pada posisi tinggi di sebuah perusahaan asuransi. Dunia asuransi membuka matanya tentang pentingnya rasa aman dan pentingnya bersiap menghadapi hal terburuk. Pengalaman hidupnya membuahkan pelajaran penting: warisan harus jatuh ke tangan yang berhak.

”Asuransi itu penting untuk anak-anak yang ditinggal orangtuanya. Saya tidak ingin masa lalu saya terjadi pada anak-anak saya. Dengan asuransi, saya tidak akan khawatir mereka kesulitan makan seandainya saya meninggal,” kata Anty yang dikaruniai tiga anak.

Di titik puncak, Anty kini bisa menengok ke belakang. Adakah perjalanan hidup yang disesalinya? ”Tidak ada,” katanya. ”Uang bukanlah segalanya. Tanpa cobaan itu, saya tidak akan seperti sekarang.”

KOMPAS.COM