Anty
lahir dari keluarga kaya, tetapi besar di panti asuhan. Ia belajar kehidupan
dari titik nol. Ketika kesuksesan kini dalam genggaman, ia menyadari bahwa uang
bukanlah segalanya.
Tanggal
22 Juli 1988 adalah hari yang selalu mengakar dalam ingatan Marianty Indira
(35), akrab dipanggil Anty. Di hari itu, sang ibu yang sudah bertahun-tahun
menderita kanker meninggal, di saat Anty berusia 10 tahun. Tiga tahun
sebelumnya, sang ayah lebih dahulu pergi. ”Hari itu saya bolos sekolah. Ibu
minta ditemani dan diguntingin kuku. Setelah itu Ibu tidur di pangkuan saya.
Tidak bangun lagi,” kenang Anty.
Hidupnya
berubah total sejak hari itu. ”Saya hanya bisa menangis. Tamu banyak sekali
yang datang. Beberapa hari kemudian saya dibawa keluar rumah oleh saudara yang
tadinya saya pikir akan mengadopsi dan merawat saya. Saya tidak membawa
apa-apa, hanya dengan baju di badan. Saya ternyata dibawa ke panti asuhan di
daerah Pamulang, Pondok Cabe. Saya ditinggal di sana, tanpa bekal apa pun,”
kenang Anty.
Anty
yang biasa hidup berlimpah, dilayani banyak pembantu, sangat dimanja dan
dituruti semua keinginannya, kemudian menjadi anak yatim piatu di panti asuhan
yang harus mengurus semuanya sendirian. ”Rumah saya dulu besar di daerah
Pakubuwono, Kebayoran Baru, dan Pejompongan, sementara di panti asuhan saya
tidur beralas tanah. Di rumah, baju saya sangat banyak, tapi di panti saya
hanya punya baju yang saya kenakan. Makan juga tidak gampang. Sementara dulu
saya kalau makan sering tidak habis,” ujarnya mengenang masa-masa sulit di panti
asuhan.
Awalnya,
malam demi malam di panti asuhan diisi tangis. Apalagi ia juga tidak tahu ke
mana harus menghubungi beberapa kakaknya yang sudah lebih dulu diadopsi. Sampai
akhirnya, di usia yang masih belia itu ia membuat keputusan penting: ia harus
melupakan masa lalunya, harus meneruskan sekolah dan menjadi yang terbaik.
Karena hanya itu cara untuk bertahan hidup.
Anty
yang dikaruniai otak encer lulus sekolah dasar dengan mudah, diterima di SMP
dengan beasiswa, begitu juga ketika masuk SMA. Ia selalu menjadi yang terbaik,
selalu juara satu. ”Yang mendorong saya untuk menjadi juara adalah cemoohan
orang. Saya ingin menunjukkan kepada semua orang, ’biarpun gue yatim tapi gue
bisa’,” lanjutnya. Bukan hanya itu, dengan menjadi juara satu, guru-gurunya
mengizinkannya mengambil rapor sendiri tanpa perlu dihadiri ”orangtua”.
”Saat
pembagian rapor selalu menjadi saat-saat yang membuat saya ingin menangis.
Alangkah bahagianya jika saya punya orangtua dan menerima rapor saya dengan
bangga,” kata Anty.
Keluarga
di Jepang
Ketika
duduk di kelas I SMA, Anty yang sewaktu kecil pernah dijanjikan ibunya akan
disekolahkan ke luar negeri itu mencoba mengikuti kompetisi beasiswa TMG (Tokyo
Metropolitan Government) yang proses seleksinya sangat ketat. Berkat kemampuan
bahasa Inggrisnya yang baik—karena semasa hidupnya sang ibu sering mengajaknya
bercakap-cakap dalam bahasa Inggris—Anty terpilih di antara ribuan peserta tes
dan bisa masuk sekolah swasta terbaik di Jepang, Aoyama Gakuin, pada tahun
1994.
”Sewaktu
pesawat mendarat di Bandara Narita (Jepang), saya langsung sujud syukur dan
menangis. Saya bilang, Mama anakmu berhasil ke luar negeri.”
Di
negeri ini pula Anty bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga. Ia tinggal
bersama orangtua angkat, Kanji Iwabuchi (62) dan Mariko Iwabuchi (58), yang
memiliki tiga anak, Tomoko Ikeda (35), Kantaro Iwabuchi (31), dan Sintoro
Iwabuchi (37).
”Tuhan
sangat baik mempertemukan saya dengan keluarga ini. Saya menganggap merekalah
orangtua saya. Mereka sangat sayang kepada saya,” kata Anty.
Dengan
limpahan kasih sayang dari keluarga Iwabuchi, talenta Anty makin berkembang. Ia
bisa menguasai bahasa Jepang, baik lisan maupun tulisan, hanya dalam waktu yang
tergolong singkat. ”Sewaktu berangkat ke Jepang, saya tidak punya bekal bahasa
Jepang. Tapi di sana saya memaksakan diri untuk bicara hanya dalam bahasa
Jepang. Saya rajin mendengarkan berita di radio dan belajar dari buku tata
bahasa dasar milik Sintoro.”
Ketekunannya
ini bukan saja membawanya menjadi pelajar berprestasi di Jepang, melainkan juga
membuatnya berhasil menembus Aoyama Gaukin University Jurusan Fisika. ”Saya
sempat kuliah satu tahun. Ayah saya (Iwabuchi) ingin agar saya menyelesaikan
kuliah di Jepang. Tapi Depdikbud meminta saya pulang ke Indonesia karena izin
beasiswa saya hanya dua tahun,” lanjutnya.
Kembali
di Indonesia, Anty diterima di Sekolah Tinggi Telkom Jurusan Teknik Industri,
yang sengaja dipilihnya agar bisa cepat bekerja. Ia lulus dengan memborong tiga
gelar sekaligus, yaitu termuda, tercepat, dan terbaik. ”Saya ingat nama saya
dipanggil tiga kali untuk menerima penghargaan.”
Pintu
karier pun terbuka luas. Ia membangun karier dari bawah dan kini sampai pada
posisi tinggi di sebuah perusahaan asuransi. Dunia asuransi membuka matanya
tentang pentingnya rasa aman dan pentingnya bersiap menghadapi hal terburuk.
Pengalaman hidupnya membuahkan pelajaran penting: warisan harus jatuh ke tangan
yang berhak.
”Asuransi
itu penting untuk anak-anak yang ditinggal orangtuanya. Saya tidak ingin masa
lalu saya terjadi pada anak-anak saya. Dengan asuransi, saya tidak akan
khawatir mereka kesulitan makan seandainya saya meninggal,” kata Anty yang
dikaruniai tiga anak.
Di
titik puncak, Anty kini bisa menengok ke belakang. Adakah perjalanan hidup yang
disesalinya? ”Tidak ada,” katanya. ”Uang bukanlah segalanya. Tanpa cobaan itu,
saya tidak akan seperti sekarang.”
KOMPAS.COM