Menggapai surga adalah dambaan setiap hamba. Setiap insan pastilah menginginkannya. Seseorang tidak akan masuk surga kecuali dia berada di atas al haq, di atas jalan kebenaran. Dan seseorang tidak akan mengenal jalan kebenaran kecuali dengan ilmu. Ilmulah yang membimbing seseorang berada di atas jalan kebenaran. Ilmulah yang membimbing benarnya amalan hamba. Ilmu lah yang membimbing seseorang terhindar dari jalan kesesatan. Oleh karena itu, tepatlah jika di antara sebab untuk meraih janji surga adalah dengan menuntut ilmu agama.
Kewajiban Menuntut Ilmu Agama
Ilmu artinya
mengetahui kebenaran dengan petunjuk. Jika disebutkan ilmu secara mutlak, yang
dimaksud adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu tentang perkara agama yang wajib diketahui
oleh mukallaf (orang yang sudah dikenai beban syariat) (Hasiyah
Tsalatsatil Ushul)
Menuntut ilmu
merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
“Menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim “(HR. Ibnu Majah, shahih)
Hukum menuntut
ilmu ada yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah
- Ilmu yang wajib ‘ain, yaitu ilmu yang harus dipelajari agar tegak agama seseorang. Ilmu ini meliputi ilmu tentang akidah, ibadah, dan muamalah. Imam Ahmad rahimahullah mengatakan : “Wajib bagi seseorang untuk menuntut ilmu yang berguna untuk menegakkan agamanya”. Lalu ada yang bertanya: “Ilmu seperti apa?” Beliau menjawab : “ Ilmu yang harus diketahui setiap hamba seperti ilmu tentang shalat, puasa, dan yang lainnya” (dinukil dari Hushulul Ma’mul). Ringkasnya, ilmu yang hukumnya wajib ‘ain adalah ilmu yang harus diketahui oleh seseorang , yang apabila dia tidak mengetahui ilmu tersebut dia akan terjatuh pada perbuatan meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Setiap orang berbeda-beda tentang ilmu yang wajib dipelajarinya.
- Ilmu yang wajib kifayah, yaitu ilmu yang tidak wajib dipelajari bagi setiap orang. Jika sudah ada sebagian orang yang mempelajari ilmu tersebut, gugur kewajiban bagi yang lainnya. Contohnya mempelajari ilmu tentang cabang-cabang masalah fikih, penjelasan detail para ulama, serta perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama. Hal ini tidak wajib diketahui oleh setiap muslim. Jika sudah ada yang mempelajarinya dan mengetahuinya, maka bagi yang lain hukum mempelajarinya adalah sunnah (dianjurkan). Termasuk juga mempelajari ilmu-ilmu dunia seperti ilmu teknologi, kedokteran, teknik, dan lain sebagainya yang digunakan untuk kemanfaatan kaum muslimin.
Ilmu Jalan Menuju Surga
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
“ Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga” (H.R Muslim)
Yang dimaksud
menempuh jalan untuk mencari ilmu, ada dua bentuk :
- Menempuh jalan secara hakiki, yaitu dengan berjalan menuju tempat majelis ilmu. Seperti misalnya berjalan menuju masjid atau tempat pengajian untuk menuntut ilmu.
- Menempuh jalan secara maknawi, yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, mempelajari, mengulang-ulang pelajaran, menelaah, menulis, membaca kitab dan memahaminya, serta perbuatan lainnya yang merupakan cara untuk mendapatkan ilmu.
Adapun maksud
perkataan Nabi “ Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga”, ada
beberapa makna :
- Yang dimaksud adalah Allah akan mempermudah baginya untuk menuntut ilmu dan mendapatkannya serta mempermudah jalan baginya. Karena sesungguhnya ilmu adalah jalan menuju surga. Hal ini seperti disebutkan dalam firman Allah:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? “ (Al Qamar:17). Sebagian ulama salaf berkata, “Betapa banyak penuntut ilmu yang mendapatkan pertolongan baginya”
- Bisa juga bermakna Allah mempermudah bagi penuntut ilmu – jika dia menuntut ilmu karena mengharap wajah Allah dan mengambil manfaat dari ilmu tersebut, serta mengamalkan konsekuensinya- menjadi sebab mendapat hidayah dari Allah dan masuknya dia ke dalam surga.
- Bisa juga bermakna Allah memudahkan bagi penuntut ilmu untuk mendapatkan ilmu-ilmu yang lain yang memberikan manfaat baginya dan menjadi sebab mengantarkannya ke surga. Seperti dikatakan, “ Barangsiapa beramal dengan ilmu yang sudah diketahui, Allah akan mengkaruniakan kepadanya ilmu yang belum diketahui sebelumnya”. Seperti juga dikatakan, “Sesungguhnya pahala bagi kebaikan adalah kebaikan sesudahnya”. Hal ini seperti yang Allah jelaskan dalam Al Qur’an,
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk “ (Maryam:76)
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْواهُمْ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (Muhammad:17).
- Termasuk dalam hal ini, dipermudah jalan yang akan dilalui untuk menuju surga pada hari kiamat, yaitu ketika meniti shirat dan rintangan sebelum maupun sesudahnya. Allah akan memudahkan bagi penuntut ilmu untuk mengambil manfaat dengan ilmu yang dimilikinya, karena ilmu menunjukkan kepada Allah jalan yang paling dekat. Barang siapa yang menempuhnya dan tidak menyimpang darinya niscaya dia akan sampai kepada Allah dan surga-Nya dari jalan yang paling dekat dan paling mudah. Sehingga akan menjadi mudah baginya semua jalan yang dia lalui untuk bisa menghantarkan kepada surga, baik jalan yang ada di dunia maupun di akhirat. (Lihat dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Ilmu Kewajiban yang Pertama
Imam Bukhari rahimahullah
berkata dalam kitab Shahihnya :
باب العلم قبل القول والعمل
(Bab : Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan). Perkataan Imam Bukhari ini menunjukkan bahwa kewajiban berilmu harus didahulukan daripada kewajiban yang lainnya.
Imam Al ‘Aini rahimahullah
berkata ketika menjelaskann perkataan Imam Bukhari ini :
“ Dalam bab ini terdapat penjelasan bahwa ilmu itu didahulukan dari perkataan dan perbuatan. Sesuatu harus diketahui terlebih dahulu baru kemudian diucapakan atau diamalkan. Dengan demikian ilmu harus ada terlebih dahulu sebelum ucapan dan perbuatan. Ilmu juga lebih didahulukan karena keutamaannya, karena ilmu merupakan amalan hati, sementara hati adalah anggota badan yang paling mulia. “( ‘Umdatul Qari’). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ilmu didahulukan karena dua sebab : ilmu harus didahulukan secara zatnya, artinya harus ada terlebih dahulu sebelum perkataan dan perbuatan, dan ilmu juga didahulukan disebabkan kemuliaannya, karena ilmu merupakan amalan hati, sedangkan hati adalah anggota badan yang paling mulia.
“ Dalam bab ini terdapat penjelasan bahwa ilmu itu didahulukan dari perkataan dan perbuatan. Sesuatu harus diketahui terlebih dahulu baru kemudian diucapakan atau diamalkan. Dengan demikian ilmu harus ada terlebih dahulu sebelum ucapan dan perbuatan. Ilmu juga lebih didahulukan karena keutamaannya, karena ilmu merupakan amalan hati, sementara hati adalah anggota badan yang paling mulia. “( ‘Umdatul Qari’). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ilmu didahulukan karena dua sebab : ilmu harus didahulukan secara zatnya, artinya harus ada terlebih dahulu sebelum perkataan dan perbuatan, dan ilmu juga didahulukan disebabkan kemuliaannya, karena ilmu merupakan amalan hati, sedangkan hati adalah anggota badan yang paling mulia.
Imam Ibnu
Munayyir rahimahullah mengatakan : “ Maksudnya bahwa ilmu
merupakan syarat sahnya suatu perkataan dan perbuatan. Perkataan dan perbuatan
tidak teranggap kecuali jika didasari ilmu. Maka ilmu harus lebih didahulukan
daripada keduanya karena ilmu yang akan membenarkan suatu niat dan niat yang
akan membenarkan suatu amalan.” (Fathul Bari)
Imam Bukhari rahimahullah
berdalil dengan firman Allah Ta’ala
{فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ
“Maka ketahuilah (ilmuilah) , bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (Muhammad:19). Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk berilmu terlebih dahulu sebelum beramal (beristighfar). Ini menunjukkan bahwa ilmu harus lebih didahulukan sebelum amal.
Kewajiban Beramal
Setelah
seseorang memiliki ilmu, kewajiban selanjutanya adalah beramal dengan dasar
ilmu yang telah dimiliki. Ilmu tidak akan berguna jika tidak diamalkan.
Seseorang tidak disebut alim (orang yang berilmu) sampai dia mau mengamalkan
ilmunya. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan : “ Seseorang ‘alim
akan senantiasa dikatakan bodoh sampai dia mengamalkan ilmunya. Jika dia sudah
mengamalkan ilmunya barulah dia disebut orang yang ‘alim”(Dinukil dari Hushulul
Ma’mul)
Ilmu tidak akan
bermanfat tanpa amal. Ibarat pohon yang tidak ada buahnya, itulah perumpamaan
ilmu yang tidak disertai amal. Bahkan Allah mengancam orang-orang yang tidak
mengamalkan ilmunya. Allah Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (As Shaaf:2-3).
Dengan demikian
kewajiban menuntut ilmu tidak sebatas hanya mengetahui ilmu saja, namun yang
lebih penting adalah mengamalkannya. Dengan amal salih yang dilakukan seorang
hamba, menjadi sebab masuknya seorang hamba ke dalam surga. Sementara tidak
akan benar amalan shalih seorang hamba kecuali atas dasar ilmu. Semoga Allah Ta’ala
senantiasa mengkarunia kita ilmu yang bermanfaat dan memberi taufik kepada kita
untuk mengamalkannya. Semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad.
—
Penulis: dr.
Adika Mianoki
Artikel
Muslim.Or.Id